Jumat, 23 Oktober 2020

Ada Apa dengan Omnibus Law UU Cipta Kerja? BERDAMPAK PADA LINGKUNGAN!!


Resume Ominibus Law dari sudut pandang saya sebagai mahasiswi kehutanan

·         Benang Merah / Keseluruhan

Dari hasil seminar yang dilakukan bersama Prof. Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat,M.Sc.F. saya dapat mengambil benang merahnya yaitu sejak disahkannya RUU Cipta Kerja ini semua masyarakat dan media sosial menyoroti poin-poin yang ada di RUU Cipta Kerja ini yang dinilai tidak seusai dengan yang ada di Pancasila dan terlalu memntingkan investor sampai-sampai UU dibidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan dipinggirkan akibatnya banyak hal yang memang merusak hutan Indonesia. Saya juga sudah membaca beberapa pasal yang menurut saya juga sedikit mengganjal seperti erubahan terhadap Pasal 35 UU Kehutanan. Yakni iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kerja diubah menjadi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) bidang kehutanan. Pada awalnya, setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja. Akan tetapi dalam draf RUU cipta kerja diubah menjadi setiap pemegang izin usaha hanya dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Dari pasal ini membuat semakin tidak jelas berapa dana yang diperuntukan untuk reboisasi dan dana pemulihan areal bila terjadi kerusakan, membuat semakin banyak kerusakan kehutanan yang dilakukan investor atau oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.


 https://www.slideshare.net/walhiaceh/uu-kehutanan-no-41-thn-1999

Lalu adanya perubahan pasal 49 yang sebelumnya, pasal ini menyatakan Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya. Akan tetapi dalam beleid RUU cipta kerja, diubah menjadi pemegang hak atau perizinan berusaha wajib melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan di areal kerjanya. Perubahan pasal ini justru berpotensi membuat penegakan hukum kebakaran hutan di area konsesi perusahaan semakin tumpul. Pasal ini bisa diartikan bahwa setiap kebakaran yang terjadi di areal konsesi perusahaan tidak serta merta menjadi tanggung jawab perusahaan. Ada juga perubahan pasal 19. Pasal ini menyebutkan perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). Padahal pasal sebelumnya menyebutkan, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ini menunjukkan hilangnya partisipasi DPR dalam membuat keputusan bersama pemerintah, dimana seharusnya DPR menjadi penyambung lidah rakyat kini berubah menjadi pemutus lidah rakyat. Kemudian, perubahan pasal 18. Pasal ini menyebutkan, Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30 % (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Akan tetapi pasal ini diubah menjadi Pemerintah Pusat mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai kondisi fisik dan geografis DAS dan/atau pulau. Perubahan ini justru berpotensi semakin membuat kerusakan lingkungan. Sebab, syarat minimal luas kawasan hutan yang saat ini saja telah terjadi kerusakan. Apalagi jika syarat minimal itu tidak ada batasan pastinya dan hanya ditentukan pemerintah pusat. Padahal jika nanti terjadi kerusakan, yang pertama kali merasakan masyarakat setempat, pemerintah daerah yang disalahkan pertama kali oleh masyarakat. Terakhir ada, perubahan pasal 15. Pasal ini diubah dimana salah satu poinnya menyatakan bahwa penyelesaian tumpang tindih kawasan hutan diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres).

 

·         Dampak ke Hutan Adat


                            https://mediaindonesia.com/read/detail/345505-penetapan-hutan-adat-memerlukan-mekanisme-legal-formal

Dampak dari omnimus law cipta kerja ini juga sampai ke Hutan adat, dimana hutan adat yang seharusnya dikelola oleh masyarakat yang menempati npinggiran hutan tersebut kini berubah menjadi dari analisa terhadap berbagai konflik dan kekerasan yang dialami masyarakat hutan adat sebagai akibat dari perampasan wilayah hutan adat telah membawa kita pada kesimpulan bahwa tanpa mengibar ngibarkan bendera hijau dan merentangkan karpet merah kepada investasi sekalipun toh faktanya selama ini negara telah menunjukkan sikap dan praktik pro pada investasi dan abai terhadap perlindungan masyarakat hutan adat dan wilayah adat beserta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Artinya, masyarakat hutan adat-lah yang seharusnya lebih layak berteriak-teriak mengenai ketidakharmonisan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Pemujaan berlebihan terhadap investasi skala besar selama ini telah menunjukkan fakta yang sangat merugikan Masyarakat Adat. Di atas pemujaan ini, wilayah-wilayah adat dirampas dan kemudian diberikan izin kepada investasi di sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan dan lain-lain. Faktanya, tanpa investasi sekalipun Masyarakat Adat mampu bertahan dan menunjukkan pendapatan yang tinggi.

 

·         Dampak untuk Menjadikan Indonesia Menjadi Negara Industri

Dalam hal ini Indonesia memacu pertumbuhan ekonomi 6% atau lebih per tahun, untuk membuka lapangan kerja baru guna menampung 2 Juta Pekerja baru dan 7 Juta Pengangguran yang ada. Sedangkan di sisi lain pertumbuhan ekonomi memerlukan investasi baru sebesar Rp 4.800 Triliun (setiap 1% pertumbuhan ekonomi, memerlukan Rp 800 Triliun). Untuk itu, pemerintah menjaga keseimbangan antara kebutuhan Perluasan Lapangan Kerja yang memerlukan Investasi, dan upaya Perlindungan Pekerja (existing). Sehingga penciptaan lapangan kerja baru, dan peningkatan perlindungan bagi pekerja, diperlukan reformasi regulasi secara menyeluruh, termasuk sektor ketenagakerjaan. Selain itu, pemerintah telah melakukan berbagai upaya peningkatan kesejahteraan tenaga kerja antara lain melalui berbagai program Kartu Prakerja, Peningkatan manfaat jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian, dan  Penyediaan perumahan pekerja.

Namun, prediksi Presiden Jokowi yang membuat negara Indonesia menjadi negara industri pada tahun 2045 namun menurut pandangan Prof. Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat,M.Sc.F hal ini tidak akan terjadi jika kerusakan kehutanan tetap dilakukan tanpa memperdulikan Hutan indonesia.

 

·       Peran Presiden dan kita

Sebenarnya dalam pembentukkan UU cipta Kerja ini juga presiden Jokowi telah menundanya pada tanggal, 24 April Presiden Jokowi mengumumkan pemerintah dan DPR menunda pembahasan RUU Cipta Kerja khusus untuk klaster ketenagakerjaan. Keputusan diambil untuk merespons tuntutan buruh yang keberatan dengan sejumlah pasal dalam klaster tersebut. Sebelum mengumumkan keputusan tersebut, Presiden Jokowi diketahui sempat bertemu dengan tiga pimpinan serikat buruh. Oleh karena itu, presiden dapat memilih salah satu dari opsi. Yang pertama presiden dapat membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (atau disingkat Perpu atau Perppu) namun jika hal ini tidak dilakukan oleh Presiden maka kita sebagai masyarakat dan pegawai negri dapat membawanya atau melaporkannya ke MK (Mahkamah Konstitusi) lalu MK dapat menafsirkan satu-satu pasal dari Ombnimus Law namun  hal ini juga dapat memiliki dampak sampingnya jika kita sebagai masyrakat tidak menelaah satu-satu dari tafsiran MK tersebut karena, tafsiran biasanya memiliki jumlah kata yang lebih banyak dari pada yang ada pada pasal-pasal sebenarnya.



Dari uraian di atas maka jelaslah bahwa Rancangan Omnibus Law adalah kumpulan dari serangkaian gagasan yang menyesatkan, bertentangan dengan konstitusi dan hukum HAM. Rancangan tersebut tidak saja berbahaya bagi masyarakat dan keberlangsungan lingkungan hidup tetapi juga berbahaya pada eksistensi Indonesia sebagai negara hukum. Oleh karena itu, banyak masyarakat menyatakan MENOLAK pembahasan apalagi pengesahan Omnnibus Law atau disebut juga dengan RUU Cipta Kerja.




3 komentar:

POTENSI BISNIS KEHUTANAN CAFÉ PAK BELALANG SUNGAI PAKNING KECAMATAN BUKIT BATU KABUPATEN BENGKALIS RIAU [BISNIS KEHUTANAN]

Paper Mata Kuliah Bisnis Kehutanan                                                                             Medan, Mei 2022 POTENSI BI...